Jomblo penuh Kepasrahan

Mungkin sekarang gw bisa nulis blog ini sambil tertawa mengingat 8 tahun yang lalu gw pernah ada diposisi Jomblo berdarah-darah. Gw memang bukan tipe orang yang senang melakukan banyak hal sendiri. Gw lebih percaya diri ketika pergi ke suatu tempat dengan pasangan, keluarga ataupun teman. Contohnya traveling, gw bukan tipe solo-traveler yang bisa explore tempat baru seorang diri. Pernah sekali gw ada kerjaan ke NTT dan transit di Bali sendirian yang ternyata tidak gw nikmati sama sekali (padahal cuma 2 hari alhasil gw cuma hangout dekat hotel saja).

Waktu jomblo merupakan waktu dimana banyak sekali gw menerima undangan pernikahan. Mulai dari teman kantor, mantan teman kantor, sampai teman main semuanya pada nikah. Gw selalu mengusahakan untuk datang disetiap undangan dan biasanya gw akan mengajak teman atau nyokap kalau sangat terpaksa (nyokap gw jam terbangnya tinggi jadi suka bawel kalau weekend gw minta temenin ke kondangan).

Gw tetap bersyukur sama semua yang gw punya saat itu. Gw menikmati waktu bersama keluarga (sebelum balik ke Jakarta, gw tinggal di Jogjakarta 4 tahun untuk kuliah), hangout sama teman-teman, bekerja di perusahaan besar yang membuat gw sering jalan-jalan keliling Taman Nasional di Indonesia, tetapi tetap saja ada sesuatu yang missing dalam hidup gw, LAKILAKI (dasarnya memang jablay).

Pencarian jodoh dimulai melalui online dan offline. Rajin main aplikasi online dating (okcupid, tinder, asian dating), ngopi darat di cafe yang sedang happening, datengin bar dan club hits di Jakarta, gabung komunitas, selalu hadir di acara besar kantor, sampai nonton konser DJ ternaman juga gw lakukan. Iya gw seniat itu mencari karena gw percaya diperlukan usaha terbaik untuk mendapatkan jodoh walaupun selebihnya harus pasrah menunggu approval dari tuhan dan menikmati semua yang gw punya.

Pencarian gw bukan tanpa hasil, gw bertemu dengan beberapa lakilaki yang membuat gw semakin sadar apa saja yang gw inginkan dari seseorang yang worth everything of me. Jaman dulu gw sering curhat di buku betapa pusingnya cari jodoh, kadang gw tulis doa-doa, resolusi dan harapan. (waktu gw bikin VOW pernikahan, gw ambil dari buku curhat ini).

Sekali lagi kepasrahan saat itu tidak membuat gw menurunkan standard yang gw mau dari seorang lakilaki idaman. Gw tidak pernah sekalipun memaksakan hubungan yang gw rasa tidak tepat. Mumpung gw masih single, muda, cantik, mandiri pula (anjir pede banget), sistem dating gw putus-sambung (setelah merasa tidak cocok putuskan, jangan buang2 waktu langsung sambung dengan yang baru :D). Lagipula mending gonta-ganti pacar daripada terpaksa menikah hanya karena tuntutan sosial, bener kan??

Hal-hal diatas berulang sampai akhirnya gw ketemu Nico tepat beberapa minggu setelah gw memutuskan untuk lay back dari pencarian cinta. Saat itu gw sempat berjanji, kalau sampai ini tidak berhasil lagi artinya ada sesuatu yang harus gw perbaiki di diri gw, entah karena gw terlalu BANYAK MAU, terlalu cepat ilfil atau tidak realistis.

Gw sempat pesimis diawal hubungan sama Nico. Pertama, hubungan kita akan LDR (which is gw benci banget). Kedua, hubungan ini akan berat diongkos pesawat. Ketiga, teman gw yang ngenalin kita, suka sama Nico dan gw tau itu (teman gw sempat marah besar, gw sudah menjelaskan ke Nico dan menyuruhnya untuk tidak mencari gw lagi karena perasaan sangat bersalah).

Hubungan yang tidak gw harapkan itu ternyata malah awet sampai sekarang. Alhamdulilah.

Intinya :

Kepasrahan bukan berarti menyerah begitu saja pada keadaan. Pasrah adalah upaya dan usaha maksimal, serta kerja keras, yang membuat tuhan merasa berat untuk tidak mengabulkan atau tidak menganugrahkan restuNya. -Sudjiwo tejo

CIKA